Powered By Blogger

Rabu, 20 Januari 2010

Pengertian Amanat (menurut ISLAM)

PENGERTIAN AMANAT MENURUT ISLAM

Allah SWT berfirman dalam surat An-Nisaa’ Ayat 58:

Sesungguhnya Allah menyuruhmu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya, dan jika kamu menetapkan hukum diantara manusia hendaklah kamu berlaku adil. Sesungguhnya Allah telah memberikan pengajaran yang sebaik-baiknya kepadamu. Dan Allah Maha Medengar lagi Maha Melihat.

Ayat ini diwahyukan dalam keadaan yang sangat menarik. Seperti diketahui bahwa sebelum penaklukan Makkah, kunci Baitullah (yakni Ka’bah) dipegang oleh Utsman bin Thalhah. Pada waktu penaklukan Makkah Nabi Muhammad SAW meminta Utsman bin Thalhah untuk menyerahkan kunci-kunci itu kepada beliau. Utsman pun menyerahkan kunci-kunci itu dengan enggan/ogah-ogahan seraya berkata, “Ini amanat untukmu.” Kemudian Rasulullah SAW membuka pintu Ka’bah dan mengeluarkan semua berhala yang ada di dalam Rumah Allah SWT itu. Pada waktu itu, Abbas RA (paman Rasulullah) dan Ali RA meminta agar kunci-kunci itu disimpan oleh keluarga Rasulullah. Beliau tidak memberikannya. Sebagaimana diriwayatkan oleh Umar RA, Rasulullah SAW keluar dari Baitullah membacakan Ayat-58 Surat An-Nisaa’. Beliau mengembalikan kunci-kunci itu kepada Utsman bin Thalhah. Hal ini mengejutkan Utsman, mengingat sebagai Penakluk, Rasulullah SAW bisa tetap menyimpan kunci itu selamanya. Utsman menjadi begitu tergerak hatinya oleh perilaku Nabi Muhammad SAW dan serta merta memeluk Islam.

Anas RA meriwayatkan bahwa Nabi Muhammad SAW selalu menekankan pentingnya memenuhi janji/kesepakatan. Anas RA berkata bahwa Nabi SAW jarang sekali memberikan khutbah tanpa menyebutkan pesan berikut ini:
“ Barang siapa mengkhianati amanat yang diberikan kepadanya, sungguh ia tidak memiliki sedikitpun keimanan didalam dirinya. Barang siapa ingkar terhadap janjinya, ia tidak memiliki citarasa hidup Islami.”
Diriwayatkan oleh Abu Hurairah RA dan Umar RA didalam ‘Bukhari dan Muslim’ bahwa, ketika menguraikan tanda-tanda orang munafik Nabi Muhammad SAW bersabda, “Ia mengkhianati amanat yang diberikan padanya.” Allah SWT menyebutkan beberapa prasyarat untuk masuk surga didalam Surat Al-Mu’minun dan Al-Ma’arij. Sebagai contoh, berikut ini adalah prasyarat yang terdapat dalam firman Allah SWT, Surat Al-Ma’arij ayat 32-35.

Dan mereka yang menepati amanat-amanat dan janji-janjinya. Merekapun teguh dengan kesaksian (syahadah)-nya. Mereka memelihara shalatnya (dengan benar dan khusyu’). Mereka akan (kekal) di Surga lagi dimuliakan.
Jadi, menepati janji atau menjaga amanat adalah serupa dengan mengerjakan shalat dengan benar. Nabi Muhammad SAW juga bersabda bahwa “Bermusyawarah di masyarakat hendaklah menunjukkan sikap amanah yang menyeluruh diantara mereka.” Maka apa yang menjadi isi musyawarah tidak boleh disampaikan kepada orang yang tidak berkepentingan.
Serupa dengan diatas, Rasulullah SAW bersabda, “Siapapun yang dimintai pertimbangan/nasehat hendaklah melakukannya dengan sikap amanah sepenuhnya". Hendaklah ia memberikan nasehat yang terbaik dan bermanfaat. Janganlah dengan sengaja memberi nasehat yang salah/menyesatkan karena kalau itu dilakukannya maka ia telah merusak kepercayaan yang diberikan. Begitu juga jika seseorang berbagi rahasianya denganmu janganlah dibuka rahasia itu kepada orang lain tanpa sepengetahuannya.
Marilah kita lihat bagaimana para sahabat Rasulullah SAW menghadapi situasi seperti diatas. Ingatlah selalu bahwa para sahabat itupun manusia biasa seperti kita dan bisa saja ‘terpeleset’ sebagaimana manusia yang lain. Allah SWT menyebutkan situasi khusus didalam Surat Al-Anfaal Ayat 27, 28:

Wahai orang-orang beriman, janganlah kamu mengkhianati Allah dan Rasul-Nya dan jangan pula kamu mengkhianati amanat-amanat yang dipercayakan kepadamu sedangkan kamu mengetahui. Dan ketahuilah bahwa hartamu dan anak-anakmu adalah ujian bagimu dan sesungguhnya disisi Allah ada pahala yang besar.
Banyak ulama mengatakan bahwa ayat ini merujuk pada satu situasi tertentu dimana Nabi Muhammad SAW sedang mengepung Bani Quraiza yang telah mempersenjatai diri dan membangun pertahanan diluar perbatasan Madinah. Konflik ini berlangsung selama 21 hari, sampai habisnya perbekalan musuh. Suku ini kemudian meminta ijin kepada Rasulullah SAW untuk pergi ke Suriah (Syria). Beliau menolak karena mengetahui bahwa kaum Yahudi tentu akan menyesatkan mereka ketika berada di Syria. Beliau kemudian memberitahu mereka bahwa hendaknya mereka menerima keputusan apapun yang diambil oleh Sa’ad bin Muaz RA sebagai perwakilan (juru bicara).
Orang-orang Yahudi meminta agar Sa’ad bin Muaz RA diganti dengan Abu Lubaba RA. Mereka berharap Abu Lubaba akan bersikap lebih baik karena ia memiliki anggota keluarga dan perumahan di lingkungan yahudi itu. Permintaan ini dikabulkan oleh Rasulullah SAW. Ketika Abu Lubaba RA sampai di tempat suku tersebut, mereka bertanya:”Apakah jadinya nasib kami jika kami keluar begitu saja dari tempat pertahanan ini?” Abu Lubaba, sambil menyilangkan jari di lehernya, berkata bahwa kepala mereka akan dipenggal. Sebenarnya hal ini adalah rahasia antara Abu Lubaba dengan Rasulullah SAW, tetapi telah diberitahukannya kepada orang-orang Yahudi.

Setelah ia meninggalkan orang-orang Yahudi itu, barulah ia menyadari kesalahannya sehingga ia merasa gundah (tidak nyaman). Ia kemudian mengikat dirinya di pohon selama 7 hari 7 malam. Ia berujar bahwa tidak akan melepaskan ikatan dirinya sehingga taubatnya diterima. Ia bersusah payah memakan apa saja selama itu dan kelelahannya pun semakin bertambah-tambah. Ketika Nabi Muhammad SAW telah memaklumi keadaannya, beliau bersabda: ”Sebenarnya ia bisa langsung datang kepadaku dan akan aku panjatkan doa agar ia mendapatkan ampunan Allah. Kini ia telah menyerahkan keseluruhan masalahnya dengan Allah. Maka iapun harus menunggu sehingga Allah SWT secara langsung menerima penyesalan (taubat)-nya.”

Setelah tujuh hari berselang, Nabi SAW diberitahu oleh Allah SWT bahwa taubat Abu Lubaba RA telah diterima-Nya. Beberapa saudara lelakinya datang berlarian menghampiri untuk melepaskan ikatannya. Abu Lubaba RA menolak dan memberitahu saudaranya bahwa ia lebih baik menunggu sehingga Rasulullah SAW berbaik hati dengan tangan beliau sendiri melepaskannya dari ikatan sebagai tanda bahwa penyesalannya telah sepenuhnya diterima. Disini kita ditunjukkan bahwa merusak kepercayaan (amanat) adalah persoalan yang dipandang sangat serius oleh para sahabat Nabi dan mereka menerapkan sanksi yang sangat keras untuk memperbaiki atau menebus kesalahannya. Bahkan sekarang ini kita bisa melihat salah satu pilar (tiang) di masjid An-Nabawi diberi nama ‘Pilar Abu Lubaba”. Pilar ini sebagai pengganti pohon aslinya tempat dimana Abu Lubaba RA mengikat dirinya. Banyak orang yang berdo’a memohon ampunan Allah SWT atas dosa-dosa mereka di dekat pilar ini dengan (mengenang) ketulusan semangat taubatnya Abu Lubaba RA.

Perhatikanlah sekali lagi bahwa ketika nabi Muhammad SAW mengembalikan kunci Baitullah kepada Utsman bin Thalhah, kunci tersebut tidak mengandung nilai-jual karena hanyalah berupa besi tua. Namun, sesungguhnya yang bernilai adalah kedudukan terhormat untuk melayani Baitullah. Jadi, amanat mengandung arti memberi kedudukan yang bernilai tanggung-jawab. Kita pun dapat menyimpulkan bahwa semua kedudukan di pemerintahan atau organisasi adalah ‘amanat’. Rasulullah SAW bersabda bahwa jika seorang pemimpin menetapkan orang-orang lain di berbagai posisi tugas dan tanggung-jawab berdasarkan kekerabatan (nepotisme) atau pertemanan dan mereka yang diberi tugas tidak memiliki kemampuan dan/atau kecakapan untuk mengemban tugas yang diberikan, maka laknat (kutukan) Allah SWT ditimpakan kepada para pemimpin yang berbuat demikian. Shalat mereka tidak akan diterima dan mereka akan dimasukkan kedalam api neraka.
Sebagaimana di sebutkan dalam Shahih Bukhari, Rasulullah Muhammad SAW bersabda:

“ Bilamana kamu melihat suatu tanggung-jawab diserahkan kepada yang bukan ahlinya, maka tunggulah datangnya Hari-Kehancurannya.” Dengan kata lain, Jika ketentuan Al-Qur’an dan Hadits ini dilanggar oleh suatu organisasi atau pemerintahan maka tidak akan ada pertolongan terhadap masalah-masalah yang mereka hadapi.
Lebih jauh lagi kita bisa menggaris-bawahi bahwa amanat adalah tanggung-jawab besar dan wajib dilaksanakan sepenuhnya. Dalam hal pengkhianatan terhadap amanat, siksa kubur pun akan berlaku. Sebagai contoh, suatu waktu Abu-Dzar RA meminta jabatan yang bernilai tanggung-jawab tinggi kepada Nabi Muhammad SAW. Beliau kemudian bersabda, sebagaimana tertulis didalam Hadits Muslim,

“ Wahai, AbuDzar, kamu seorang yang lemah dan sebuah jabatan/kedudukan yang bernilai tanggung-jawab adalah sebuah amanat. Dan sesungguhnya amanat akan menjadi kehinaan dan penyesalan di Hari Pembalasan, kecuali bagi orang yang menerimanya dengan benar dan mampu menunaikan kewajibannya dalam amanat tersebut."
Di Ayat berikutnya, Allah SWT berfirman bahwa jika kamu menetapkan hukum diantara manusia, hendaklah ditetapkan dengan adil. Perintah ini tidak hanya berlaku untuk para pemimpin dan birokrat, tetapi berlaku juga untuk orang biasa. Perhatikan juga bahwa Allah SWT tidak menggunakan kata (diantara orang beriman) ataupun (diantara orang Islam), tetapi (diantara manusia). Ini berarti semua orang berhak atas kesetaran keadilan. Didalam Islam tidak dibedakan antara kawan ataupun lawan, muslim ataupun non-muslim, warga setempat ataupun orang asing, semuanya harus memperoleh keadilan yang sama.

Penting juga untuk diperhatikan bahwa Allah SWT menyebut hal ‘amanat’ terlebih dahulu, baru kemudian memerintahkan penegakan keadilan hukum. Hal ini bisa dipakai sebagai pedoman bagi kita bahwa keadilan hukum tidak dapat ditegakkan kecuali jika orang-orang yang pantas atau cakap telah ditempatkan sesuai dengan beraneka bidang tugas yang ada. Hal inilah yang belakangan ini tidak kita dapati (hilang) didalam pemerintahan dan organisasi, termasuk juga organisasi masjid dan sekolah-sekolah Islam. Jika penugasan secara jelas dan terbuka belum dilaksanakan maka berbagai permasalahan yang ada dalam organisasi tidak akan dapat dipecahkan.
Al-Qur’an juga menghilangkan pemikiran dan praktek yang salah dalam hal pemberian jabatan dalam pemerintahan menurut jumlah orang di suatu negara bagian atau propinsi.
Al-Qur’an menyebutkan bahwa jabatan bukanlah hak perorangan, melainkan sebuah perwalian (yang dipertanggung-jawabkan) dengan Allah, dan hanya dapat diberikan terbatas kepada orang-orang yang memenuhi persyaratan tertentu. Dalam sebuah ayat disebutkan yang berarti syarat utama seorang pengemban amanat itu haruslah menguasai bidangnya selain harus juga bersifat jujur dan menjalankan ajaran islam dengan baik. Kedua syarat ini harus dipenuhi secara bersamaan. Hal ini telah diungkapkan secara jelas dalam kasus Nabi Musa AS, ketika beliau melihat dua gadis belia bersama ternak mereka didekat sumur. Nabi Musa AS mengetahui bahwa banyak orang yang datang membawa ternak mereka dan mengambil air dari sumur itu, memberi minum ternak mereka dan pergi lagi. Kedua gadis tadi sudah lama hanya berdiri agak jauh dari sumur sambil memegangi ternak mereka. Nabi Musa AS kemudian bertanya kepada mereka, “Ada apa dengan kalian?” Mereka menjawab, “Ayah kami sudah tua. Kami tidak bisa mengambil air dari sumur. Kami membawa ternak kami mendekat ke sumur setelah orang lain pergi agar ternak kami bisa minum sisa air yang mereka tinggalkan.” Nabi Musa AS pun menimba air dari sumur dan diberikan untuk ternak mereka hingga kenyang, lalu kedua gadis belia itu pulang ke rumah dan meminta agar ayah mereka mempekerjakan Nabi Musa AS untuk mengurus ternak mereka, karena mereka mendapati Nabi Musa AS memenuhi syarat untuk pekerjaan tersebut yaitu kuat dan jujur. Inilah kriteria untuk menyerahkan suatu amanat.

Maka aturan dasar untuk merumuskan struktur organisasi suatu pemerintahan adalah sebagai berikut:

1. Allah SWT adalah “Pengatur yang sejati dan perintah/aturan hanyalah dari Allah SWT semata”. Semua organisasi pemerintahan adalah wali (pemegang amanat) Allah. Kekuasaan sejati pada sebuah negeri ada pada Allah semata.
2. Tugas-tugas di suatu negara tidak untuk dibagikan menurut perbandingan jumlah penduduk setiap wilayah yang berbeda. Hanya orang-orang yang memenuhi syarat dan mampu/cakap sajalah hendaknya yang diberi tugas sesuai bidangnya.
3. Karena manusia hanyalah wali/wakil Allah, maka dalam segala hal mereka haruslah selalu taat/patuh kepada perintah dan petunjuk Allah SWT.
4. Dalam hal terjadi perselisihan, keadilan harus ditegakkan tanpa memandang ras, bahasa, warna kulit, ataupun afiliasi agama.

Sebagai penutup, kita ketahui bahwa pada waktu hijrah Rasulullah Muhammad SAW dari Makkah ke Madinah, beliau meninggalkan Ali RA di tempat tidur beliau dan menyuruhnya agar semua amanat yang ada dikembalikan kepada pemiliknya. Ini terjadi ketika semua suku di Makkah telah bergandeng-tangan, bekerjasama mengepung rumah Nabi Muhammad SAW untuk secara terang-terangan membunuh beliau. Sebaliknya, disini Rasulullah SAW menunjukan sikap yang mulia yakni, menjamin bahwa semua amanat yang dititipkan kepada beliau, meskipun itu milik lawannya yang paling jahat, dalam keadaan bagaimanapun tetap disampaikan kepada mereka yang berhak.

Semoga Allah SWT menolong kita untuk dapat menjaga amanat dan memenuhi janji dengan semangat yang sama dengan semangat Rasulullah SAW. Amiin.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar